[vc_row][vc_column][vc_column_text]

Topeng Cirebon adalah topeng yang terbuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu jarang . Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian tari topeng

Semua jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan tari topeng Cirebonan yang diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok ada lima yang disebut juga Topeng Panca Wanda :

Menurut Hasan Nawi, salah seorang pengrajin topeng Cirebon dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia seperti mengenakan topeng, misalnya saja pada saat marah seperti sudah mengganti topeng berwajah ceria dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa yang sikapnya kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya dengan topeng anak-anak.

Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.

Di zaman mana? Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.

Topeng Majapahit ini hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.

Mengandung semua sifat ciptaan. Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.

Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Tari Topeng Cirebon (Bahasa Cirebon: beksan topeng Cerbon) adalah salah satu tarian di wilayah kesultanan Cirebon. Pada awalnya tari topeng bermula sejak era Jawa Kuno di Jawa Timur. Pada masa-masa selanjutnya berkembang dan menyebar ke Jawa Tengah, Cirebon, bahkan juga Banjar dan Kutai. Tari Topeng Cirebon, berkembang di daerah Cirebon, termasuk Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, Losari, dan Brebes. Disebut tari topeng karena penarinya menggunakan topeng di saat menari. Pada pementasan tari Topeng Cirebon, penarinya disebut sebagai dalang, dikarenakan mereka memainkan karakter topeng-topeng tersebut.

Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh satu penari tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mendeskripsikan bahwa kesenian topeng Cirebon merupakan penjabaran dari cerita Panji dari Jawa Timur di mana dalam satu kelompok kesenian topeng terdiri dari dalang (yang menarasikan kisahnya) dan enam orang pemuda yang mementaskannya diiringi oleh empat orang musisi gamelan (bahasa Cirebon: Wiyaga)[1]

Tari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan (bahasa Indonesia: tenda pesta) atau di bale (bahasa Indonesia: panggung) dengan obor sebagai penerangannya. tetapi dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya.[2]

Tujuan diselenggarakan suatu pagelaran tari Topeng Cirebon secara garis besar dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu;[3]

Struktur pagelaran dalam tari Topeng Cirebon bergantung pada kemampuan rombogan, fasilitas gong yang tersedia, jenis penyajian topeng dan lakon (bahasa Indonesia: cerita) yang dibawakannya. Secara umum, struktur pertunjukan tari Topeng Cirebon dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:

Salah satu jenis lainnya dari tari topeng ini adalah tari topeng kelana kencana wungu merupakan rangkaian tari topeng gaya Parahyangan yang menceritakan ratu Kencana wungu yang dikejar-kejar oleh prabu Minakjingga yang tergila-tergila padanya. Pada dasarnya masing-masing topeng yang mewakili masing-masing karakter menggambarkan perwatakan manusia. Kencana Wungu, dengan topeng warna biru, mewakili karakter yang lincah namun anggun. Minakjingga (disebut juga kelana), dengan topeng warna merah mewakili karakter yang berangasan, tempramental dan tidak sabaran. Tari ini merupakan karya Nugraha Soeradiredja.

Pada tari Topeng Cirebon terdapat beberapa gaya tarian yang secara yang telah diakui secara adat,[4][5] gaya-gaya ini berasal dari desa-desa asli tempat di mana tari Topeng Cirebon lahir dan juga dari desa lainnya yang menciptakan gaya baru yang secara adat telah diakui lepas dari gaya lainnya. Endo Suanda seorang peneliti tari Cirebon melihat perbedaan gaya tari Topeng Cirebon antar daerah tersebut dikarenakan adanya penyesuaian selera penonton dengan nilai estetika gerak tarian di atas panggung,[5] berikut beberapa gaya tari Topeng Cirebon:

Tari Topeng Cirebon gaya Beber adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang lahir di desa Beber, kecamatan Ligung, kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sejak abad ke 17, awalnya tari Topeng yang ada di desa Beber dibawa oleh seorang seniman dari Gegesik, Cirebon yang bernama Setian, tetapi menurut para ahli Dalang Topeng Cirebon gaya Beber seperti mimi Yayah dan Ki Dalang Kardama yang pertama kali membawa tarian Topeng ke desa Beber dan menjadi tari Topeng Cirebon gaya Beber adalah mimi Sonten dan Surawarcita yang masih berasal dari Gegesik sejak itu menurunkan beberapa generasi para seniman.

Pembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Beber menurut Ki Andet Suanda dilakukan dengan berdasar para interpretasi tentang sifat dan kesadaran manusia.[6]

Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Beber dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan, keterangan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum

Para dalang tari Topeng Cirebon yang terkenal jamannya di antaranya Andet Suanda, Ening Tasminah, H. Warniti yang kesemuanya telah almarhum, Generasi berikutnya yaitu Rohati (anak tunggal dari Ening Tasminah), Iyat (telah almarhum), Iis, Nengsih, juga para buyut, cucu serta pewarisnya yaitu Yayah, istri dari Ki dalang Suhadi di desa Randegan (sekarang telah mekar menjadi desa Randegan Kulon dan desa Randegan Wetan, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka), Een di Beber dan Ki Pandi Surono (anak dari dalang Rohati dan cucu dari dalang Ening Tasminah) yang membina Sanggar Anggraeni.

Menurut Babad Tanah Losari diceritakan bahwa Pangeran Angkawijaya pergi ke Losari dari kesultanan Cirebon menepi dari kehidupan Keraton karena tidak ingin terkungkung dengan sistem kehidupan kesultanan yang serba gemerlap. Selain itu, menepinya Pangeran Angkawijaya dari kesultanan Cirebon karena adanya konflik Internal soal perjodohan antara dirinya dengan kakaknya yakni Panembahan Ratu.[7]

Saat itu Panembahan Ratu yang termasuk kakak Angkawijaya hendak menikahi putri dari Raja Pajang yakni Nyai Mas Gamblok, sebenarnya putri Gamblok lebih menyukai Pangeran Angkawijaya, tetapi karena urutan usia, Panembahan Ratu yang lebih tua menyatakan berhak mengawini Nyai Mas gamblok, menghindari hal yang tidak dinginkan terjadi, Pangeran Pangeran Angkawijaya lalu pergi ke arah timur dari tanah Cirebon hingga menetap di daerah pedukuhan pinggir sungai Cisanggarung yang akhirnya dinamakan Losari, dari tempat ini kemudian Pangeran Angkawijaya mengembangkan keterampilannya di bidang seni, beberapa hasil kreasinya diyakini adalah batik Cirebon motif Gringsing dan tari Topeng Cirebon gaya Losari.

Pangeran Angkawijaya tercatat meninggal pada tahun 1580 dan dimakamkan di desa Losari lor, kecamatan Losari, kabupaten Brebes.

Tari Topeng Cirebon gaya Brebes sebenarnya merupakan tari Topeng Cirebon gaya Losari yang mendapatkan banyak pengaruh lokal, termasuk dari segi alur ceritanya.

Tari Topeng Cirebon gaya Brebes adalah jenis tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah kecamatan Losari, kabupaten Brebes yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa.

Tari Topeng Cirebon gaya Brebes menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang pemuda petani desa yang berwajah buruk rupa berkeinginan untuk mempersunting putri raja yang cantik jelita bernama Putri Candra Kirana. Dikisahkan, keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang raja, setelah Joko Bluwo memenuhi syarat yang diajukan Raja.

Namun, di tengah pesta pernikahan, seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana.

' Tari Topeng Cirebon gaya Celeng adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di blok (bahasa Indonesia: dusun) Celeng, desa Loh Bener, kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu

Lagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Celeng ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Gegesik dan Slangit namun dengan beberapa kekhasan tersendiri, misalnya pada tetaluan (bahasa Indonesia: tabuhan gamelan) Kembang Sungsang jika gongnya ada dua maka nada yang dimainkan adalah miring dan susul saja, sedangkan jika terdapat tiga gong, tetaluan kembang sungsang nada yang dimainkan adalah miring, susul dan sanga.

Asal usul gaya Celeng dipercaya dibawa oleh Ki Kartam (seorang ahli dalang wayang dan dalang topeng) dari wilayah Majakerta yang merupakan kakak dari Ki Panggah (yang melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara di kabupaten Subang), sementara kedekatan gerak tarian antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan disebabkan mimi Rasinah yang aslinya berasal dari desa Pamayahan,kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu belajar seni dalang topeng kepada ibu (bahasa Cirebon dialek Dermayu: emak) Suminta, ibu dari Ki Dalang Haji Rusdi dan nenek (bahasa Cirebon dialek Dermayu: Mak tuwa) dari budayawan Cirebon asal Indramayu Ady Subratha, kemudian mimi Rasinah pindah ke desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu dan mempopulerkan tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan, inilah yang menyebabkan ada beberapa gerak tarian yang terkesan mirip antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan

Pada masa kejayaan gaya Celeng, ada seorang dalang Topeng lain yang terkenal selain emak Suminta, yaitu emak Sukesah yang masih saudara dengan emak Suminta. Emak Sukesah kemudian menikah dengan Ki dalang Sajim (dalang Wayang Kulit Cirebon) dari kecamatan Pegaden, kabupaten Subang, keluarga Ki Sajim kemudian ada yang meneruskan menjadi dalang Wayang Kulit Cirebon diantaranya adalah Ki Sukardi dan Ki Casta.

Tari Topeng Cirebon gaya Cibereng merupakan ragam tari Topeng Cirebon yang ada di desa Cibereng, kecamatan Trisi, kabupaten Indramayu

Dalang tari Topeng Cirebon gaya Cibereng yang terkenal salah satunya adalah Ki dalang Carpan.

Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang wilayah penyebarannya berada di sekitar kecamatan Pegaden hingga ke bantaran sungai Cipunegara yang merupakan perbatasan dengan kabupaten Indramayu. Perkembangan kebudayaan di wilayah Cipunegara (termasuk di sebagian besar daerah dataran rendah kabupaten Subang) tidak terlepas dari kontribusi masyarakatnya. Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini oleh masyarakatnya disebut sebagai tari Topeng Menor, karena kemerduan suara dan kecantikan para penarinya.[8]

Pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara berada di desa Jati, kecamatan Cipunegara dan desa Gunung Sembung, kecamatan Pegaden, kabupaten Subang. Dikarenakan desa Jati terkenal sebagai salah satu pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, maka tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini juga dikenal dengan nama tari Topeng Jati.

Willy Sani dalam penelitiannya tentang tari Topeng Menor menyatakan bahwa bahasa pengantar yang digunakan dalam pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini adalah bahasa Sunda, bahasa pengantar yang digunakan tersebut berbeda dengan kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah Cirebon dan Indramayu yang menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantaranya. Keunikan yang terjadi semata-mata dikarenakan alkulturasi budaya antara budaya Cirebon dengan budaya Sunda dikarenakan dalam pementasan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara tersebut juga didatangi oleh masyarakat Sunda yang kurang paham dengan bahasa Cirebon sehingga bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa pengantar pementasan agar pesan-pesan yang berusaha disampaikan dalam setiap babak tariannya dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakatnya. Namun demikian, Willy Sani juga mengatakan bahwa penggunaan bahasa Sunda tidak berarti jika nayaga (penabuh gamelan) dan para Dalang Topeng tersebut tidak bisa menggunakan bahasa Cirebon, sebaliknya mereka semua fasih menggunakan bahasa Cirebon walau selama pementasan harus menggunakan bahasa Sunda agar penonton memahami setiap isi babak.

Berbeda dengan musik pengiring tari Topeng Cirebon yang terdapat di wilayah kabupaten Cirebon dan kabupaten Indramayu yang menggunakan instrumen musik bernuansa khas Cirebonan seperti Gamelan cirebon dan sejenisnya. Pada tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, musik pengiringnya justru menggunakan musik-musik Bajidoran yang merupakan seni khas kebudayaan Sunda di kabupaten Subang dan kabupaten Karawang.[9]

Dalang-dalang topeng yang berada diwilayah Pegaden dan Cipunegara bisa dikatakan seluruhnya merupakan keturunan dari Dalang Panggah. Dalang Carni dan Dalang Ratem merupakan dua orang dalang dari wilayah Cipunegara yang hingga kini masih terbilang aktif melestarikan gaya Cipunegara.

Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Gegesik, kabupaten Cirebon. Pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yang paling terlihat berbeda adalah raut karakteristik topengnya. Topeng Panji pada gaya Gegesik digambarkan dengan karakteristik wajah berwarna putih dengan raut tenang, mata sipit dengan tatapan yang selalu merunduk tajam, hidung mancung dan senyum yang terkulum[10]

Di Gegesik yang merupakan salah satu pusat perkembangan kesenian cirebon, termasuk kesenian tari Topeng Cirebon, penari atau dalang tari Topeng Cirebon kini tidak sebanyak dulu ketika masa jayanya, menurut budayawan Cirebon bapak Nurdin Noer yang juga merupakan ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon

Pada tiga dekade yang lalu hampir semua warga di Gegesik bisa menari topeng, entah itu anak penari ataupun petani biasa. Topeng pun menjadi sesuatu yang wajib dipunyai. Namun, kini hal itu tak berlaku lagi, jumlah penari hanya bisa dihitung dengan jari

Pada perkembangan sebuah kesenian termasuk tari Topeng Cirebon gaya Gegesik, perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang terjadi pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik kebanyakan dipengaruhi oleh struktur masyarakat urban serta berperannya sekolah kesenian, modernisasi, peristiwa, politik dan perubahan pandangan pewaris topeng, terutama sekitar tahun 1980 hingga tahun 2000. Perubahan tari Topeng Cirebon gaya Gegesik terutama terjadi pada cara dan bentuk penyajiannya, sehingga pada masa itu pertunjukan topeng dicampur dengan dangdut atau yang oleh masyarakat disebut sebagai topeng-dangdut.[11]

Lagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Slangit, berikut nama-nama musik pengiringnya ;

Gerakan tari pada gaya Gegesik dapat dilihat pada pemaknaan gerak di masing-masing alur ceritanya, di antaranya adalah gerakan tangan temple bahu dan cantel pada alur cerita topeng Panji.

Gerakan tangan temple bahu diartikan sebagai tiruan dari gerak jalan Dewi Anggraeni sementara gerakan cantel dapat diartikan bahwa Raden Panji akan berhasil menikahi Dewi Anggraeni.

'Pada gaya Gegesik, babak (alur cerita) tariannya hampir sama dengan babak tarian yang ada di gaya-gaya tari Topeng Cirebon wilayah barat, penamaan babak pada pementasan tari Topeng Cirebon pada wilayah barat hanyalah mengambil namanya saja untuk menggambarkan kesamaan watak, para dalang topeng Cirebon pada umumnya tidak mengaitkan tariannya dengan tokoh Panji seperti dalam cerita Panji. Artinya, nama tari tersebut bukan sebagai gambaran tokoh Panji. Kata Panji hanya dipinjam untuk menyatakan salah satu karakter tari yang halus, yang secara kebetulan karakternya sama dengan tokoh Panji. Berbeda dengan di Losari, Topeng Panji justru ditarikan dalam sebuah lakonan dan penarinya benar-benar memerankan tokoh Panji seperti yang ada di cerita Panji.[12]

Perbedaan babak antara tari Topeng Cirebon gaya Gegesik dengan Slangit yang sama-sama berasal dari kabupaten Cirebon wilayah barat terletak pada susunan babaknya, jika pada gaya Gegesik babak rumyang ditampilkan pada urutan keempat atau kelima, maka pada gaya Slangit babak tersebut ditampilkan pada urutan ketiga. Berikut babak pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ;

Sebagian budayawan Cirebon yang menyimak keterangan Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) bahwa babak rumyang seharusnya ditarikan pada bagian akhir kemudian menyatakan hal yang sama jika pada zaman dahulu babak rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik juga ditarikan pada akhir pagelaran sama dengan yang terjadi pada gaya Randegan, hanya saja para budayawan Cirebon kurang mengingat kapan terjadinya peralihan babak rumyang yang sebelumnya ditarikan di akhir babak menjadi di tengah babak pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik. Ki Waryo (maestro kesenian Cirebon sekaligus dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) berpendapat bahwa peralihan babak rumyang dari akhir pagelaran menjadi babak di tengah pagelaran diperkirakan terjadi pada periode tahun 1970-an di mana pada periode tersebut para dalang tari Topeng di Cirebon banyak didatangi oleh para peneliti dan kemungkinan para peneliti ini memberikan persfektif baru bagi para dalang Topeng terutama dalang tari Topeng Cirebon gaya Gegesik sekaligus mengubah persfektif tariannya dari semula berfokus pada perkembangan jiwa yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di akhir menjadi berfokus pada pertumbuhan manusia secara fisik yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di tengah.

Di wilayah kecamatan Gegesik juga terdapat banyak dalang topeng, para dalang tersebut kebanyakan berasal dari keturunan para maestro tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yaitu Mutinah, Lesek dan Jublag. Keturunan dalang Mutinah yang bisa ditelusuri adalah dalang Juniah, sementara keturunan dalang Lesek adalah dalang Sumarni dan yang terakhir keturunan dalang Jublag adalah dalang Baerni dan Baedah yang keduanya masih dapat dikatakan aktif walau sudah sangat jarang diundang tampil di masyarakat.

Dalang Baerni kini pindah ke wilayah kecamatan Pegaden, kabupaten Subang untuk mengikuti suaminya yang bekerja sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan dalang Baedah juga mengikuti suaminya pindah ke wilayah kota Cirebon

Tari Topeng Cirebon gaya Gujeg tersebar disekitar desa Gujeg, kecamatan Panguragan, kabupaten Cirebon.

Gaya Gujeg sangat memprihantinkan, dikarenakan sepeninggal dalang Noglo, di wilayah desa Gujeg sudah tidak terdengar lagi adanya dalang topeng penerusnya lahir.[4]

Tari Topeng Cirebon gaya Kalianyar sama seperti gaya Gujeg yang berada di dalam wilayah kecamatan Panguragan, gaya Kalianyar terpusat disekitar desa Kalianyar, wilayah pusat penyebaran gaya Kalianyar ini hanya dipisahkan oleh kali Winong disebelah timur dengan desa Gujeg dan hanya beberapa kilometer ke selatan dari wilayah ini sudah dapat ditemui gaya Slangit di desa Slangit dan gaya Kreyo di desa Kreyo

Di wilayah Kalianyar terdapat beberapa dalang tari Topeng, di antaranya dalang Sutini yang sudah pensiun karena faktor usia dan dalang Kasniri yang masih aktif.

Tari Topeng Cirebon gaya Kreyo terpusat di desa Kreyo, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon yang hanya terpisahkan dengan desa Slangit disebelah timur oleh ruas jalan antar kecamatan yang menghubungkan kecamatan Klangenan dengan kecamatan Panguragan

Pada masa jayanya, gaya Kreyo memiliki seorang dalang tari Topeng yang terkenal, dia bernama Tarmi atau biasa dikenal dengan nama dalang Tarmi, sekarang yang ada hanyalah dalang Tumus, tetapi dia lebih sering menjadi nayaga (penabuh gamelan) kelompok tari Topeng Cirebon milik dalang Keni Arja (seorang maestro Topeng Cirebon gaya Slangit)[13] sebagai penabuh saron penimbal.

Tari Topeng Cirebon gaya Losarang memiliki daerah penyebaran inti di kecamatan Losarang,Kabupaten Indramayu

Tari Topeng Cirebon gaya Losari memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Losari, kabupaten Cirebon dan kecamatan Losari, kabupaten Brebes, menurut maestro tari Topeng Cirebon Irawati Ardjo, lokasi Losari yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah membuat tari Topeng Cirebon gaya Losari banyak dipengaruhi elemen-elemen budaya jawa, keterangan serupa juga diberikan oleh Dr. Een Herdiani dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, menurut dia perbedaan yang menjadi ciri khas tari Topeng Cirebon gaya Losari ada pada musik pengiringnya, gerakan tari dan pakaian penarinya.[14]

Pada kebanyakan penari Topeng Cirebon terutama yang mendalami gaya-gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat seperti gaya Slangit, maka akan ditemukan pakaian penarinya menggunakan kain batik khas cirebon motif mega mendung, hal ini berbeda dengan pakaian para penari Topeng Cirebon gaya Losari yang menggunakan kain batik motif parang yang merupakan motif khas batik dari budaya jawa.

Musik pengiring pada gaya Losari menggunakan gamelan yang dipengaruhi oleh budaya jawa. Pada saat tampil menari, penari Topeng Cirebon gaya Losari menjadikan kotak topeng dan para nayaga (penabuh gamelan) sebagai sebuah pusat pertunjukan, oleh karenanya banyak kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari yang menjaga harga diri dan kesucian ritual tariannya, beberapa kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari juga menolak jika pertunjukannya harus diselingi dengan pertunjukan musik dangdut atau organ tunggal sesuai dengan permintaan penonton. Berikut merupakan musik pengiring dari pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Losari ;

Pada gaya Losari, gerakan tidak hanya berpaku pada pola geometris seperti yang biasa dilakukan pada kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon, tetapi juga menggunakan pola gerakan yang luwes.[14] Gerakan yang menjadi khas gaya Losari di antaranya adalah ;[15]

Berbeda dengan kebanyakan tingkatan babak (alur cerita) tari Topeng Cirebon dari wilayah barat yang memiliki lima tingkatan yaitu ;

Pada gaya Losari, alur cerita atau urutan tari tidak mengutamakan pada pembabakan cerita secara watak, tetapi lebih kepada teknik dan penjiwaan karakternya. Ada delapan tingkatan alur cerita pada tari Topeng Cirebon gaya Losari, yaitu ;

Berbeda dengan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat di mana kelima babaknya bisa dibawakan seluruhnya oleh seorang penari, pada gaya Losari, setiap alur cerita atau babak dapat dibawakan oleh penari yang berbeda-beda.

Di dalam gaya Losari, dalang yang terkenal di antaranya adalah almarhumah Sawitri dan Dewi dari sanggar tari Topeng Cirebon Purwa Kecana, perjuangan melestarikan gaya Losari kemudian diteruskan kepada keturunannya, di antaranya Taningsih, Nur Anani, Kartini, Srinarti, Warsono dan Susana.[4]

Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan tersebar disekitar kecamatan Palimanan dan sekitarnya.

Musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan diantaranya adalah ;

Tetaluan yang dibawakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan kurang lebih memiliki kesamaan dengan yang ada pada gaya Gegesik yaitu dengan dimainkannya tetaluan Kembang Sungsang, Kembang Kapas dan Gonjing, kesamaan pada gaya Losari bisa dilihat dari dimainkannya tetaluan Bendrong pada babak Jingga Anom, kedekatan ini kemungkinan terjadi karena menurut penuturan para budayawan dahulu, sesepuh tari Topeng Cirebon gaya Palimanan berasal dari wilayah timur kabupaten Cirebon tepatnya di wilayah kecamatan Astana Japura, kabupaten Cirebon.

Babak tarian yang dibawakan pada gaya Palimanan hampir serupa dengan yang ada pada gaya Beber dan Randegan namun dengan penambahan babak Klana Udeng sebagai akhir dari pagelarannya.

Selain lima babak yang ada biasa ditampilkan, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan

Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan memiliki ciri khas pada berbagai macam posisi berdiri yang diciptakan oleh dalang Wentar, posisi-posisi tersebut disesuaikan dengan postur tubuh dan kepantasan penarinya, ditambah dengan penafsiran yang berbeda dalam meresapi watak dalam cerita topeng, membuat gerakan tarian Topeng gaya Palimanan ini berbeda.

Para dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan sebagian besar merupakan keturunan dari dalang Wentar, Ki Dalang Wentar mempunya beberapa orang anak diantaranya Mimi Mini, Mimi Ami, Ki Dalang Saca, Mimi Nesih dan Mimi Soedji, di antara keturunan dari Wentar yang terkenal adalah Tursini anak dari dalang Soedji seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan. Beberapa keturunan dalang Wentar tidak hanya berdiam di kecamatan Palimanan saja. namun menyebar ke wilayah lainnya terutama kabupaten Majalengka. Dalang Sukarta yang kini tinggal di desa Bongas, kecamatan Sumber Jaya, kabupaten Majalengka, merupakan salah satunya, dalang Sukarta merupakan keturunan Ki Wentar dari jalur Mimi Mini, anak Mimi Mini yaitu Mimi Ina yang kemudian menikah dengan Ki dalang Entang dari desa Balad, kecamatan Dukupuntang, kabupaten Cirebon adalah ibu dan ayahnya, sehingga Ki Dalang Sukarta sekaligus menjadi cucu bagi Ki dalang Saca (anak dalang Wentar) dan dalang Soedji yang merupakan saudara neneknya yaitu dalang Mini. dalang lain yang terkenal dari gaya Palimanan adalah Ki dalang Ade Irfan.

Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada babak Topeng Samba, kuda-kuda yang dilakukan merupakan gaya dari Ki Wentar (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) sedangkan gerak yang sedang dilakukan disebut Seblak Tangan.

Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada babak Topeng Tumenggung. Topeng Tumenggung yang sedang digunakan pada gambar adalah Topeng Tumenggung Bebarang, salah satu tumenggung gaya Ki Wentar yang sekarang dikembangkan oleh Ki Dalang Karta dari desa Bongas (sekarang sudah mekar menjadi desa Bongas Kulon dan desa Bongas Wetan), kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka

Kang Mer kakang tunggal buyut menggayakan topeng Tumenggung Magangdiraja dan Ki Empek (maestro kesenian Cirebon) ayah dari Ki Waryo (budayawan Cirebon) menggayakan topeng Jinggananom.

Tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu, gaya Pekandangan merupakan salah satu dari sedikit gaya tari Topeng Cirebon yang ada di Indramayu selain gaya Tambi yang lestarikan oleh mimi Wangi Indriya.

Pembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Pekandangan menurut Riyani didasarkan pada interpretasi dari gambaran nafsu manusia.[6]

Riyani menjelaskan bahwa babak topeng Panji, Samba dan Patih merupakan sebuah interpretasi dari kesempurnaan manusia jika ditelaah dalam sudut pandang jiwa manusia sedangkan babak topeng Klana merupakan sebuah proyeksi dari gambaran jasmani seorang manusia yang masih mempunyai berbagai nafsu duniawi.

Dalang topeng gaya Pekandangan yang terkenal adalah mimi (bahasa Indonesia: ibu) Rasinah anak dari Ki Dalang Lastra dan ibunya seorang dalang ronggeng,[16] menurut Ki Waryo budayawan Cirebon, mimi Rasinah merupakan salah satu maestro tari Topeng Cirebon yang banyak menimba ilmu dari para seniornya terdahulu seperti dari mimi' Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan), kini setelah meninggalnya mimi Rasinah, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan dilanjutkan oleh para muridnya, salah satunya adalah Aerli yang juga keturunannya.

Pada awalnya keluarga besar Ki dalang Lastra mengalami kesulitan besar ketika hendak mengembangkan tari topeng Cirebon gaya Pekandangan, kesulitan itu muncul dari penjajah yang berfikir bahwa aktivitas pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan yang dilakukan oleh Ki Lastra merupakan sebuah aktivitas mata-mata oleh pejuang Republik Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, kelompok tari yang dipimpin oleh Ki Lastra dibekukan hingga selanjutnya pada masa agresi militer Belanda, Ki Lastra tewas ditembak tentara Belanda dengan tuduhan yang sama dengan sebelumnya yaitu melakukan aktivitas mata-mata untuk Republik Indonesia.[17]

Usaha melestarikan gaya Pekandangan oleh keluarga besar Mimi Rasinah membuahkan hasil dengan dipentaskannya pagelaran tari Topeng yang berjudul Napak Tilas Sang Maestro Tari Topeng Pekandangan: Mimi Rasinah di teater terbuka balai pengelolaan taman budaya Jawa Barat pada maret 2014 yang diperagakan oleh ratusan dalang topeng gaya Pekandangan dari berbagai usia dan dihadiri oleh para peminat seni termasuk para murid mimi Rasinah dari berbagai negara.[18]

'Tari Topeng Cirebon gaya Randegan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa-desa Randegan kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka, menurut Ki Waryo (budayawan Cirebon) tari Topeng Cirebon gaya Randegan leluhurnya berasal dari wilayah Cirebon sama seperti tetangganya yaitu tari Topeng Cirebon gaya Beber yang leluhurnya juga berasal dari wilayah Cirebon.

Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Randegan dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) yang seacara adat bersebelahan dengan gaya Randegan, pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan.

Penjelasan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum

Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) menjelaskan bahwa sesungguhnya babak Rumyang pada gaya Randegan dipentaskan dengan tidak mengenakan sobra namun mengenakan Udeng khas gaya Randegan yang kemudian dia tunjukan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Randegan di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon.

Ki Rawita merupakan seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan yang terkenal terutama pada pementasan babak Rumyang Udeng di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon.

Tari Topeng Cirebon gaya Slangit utamanya terpusat disekitar desa Slangit, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon, gaya inilah yang kemudian digunakan dan dikembangkan menjadi gaya tari Topeng Cirebon pada sanggar kesenian Sekar Pandan milik kesultanan Kacirebonan. Pada era tahun 80-an, sekitar tahun 1986 seorang peneliti asing bernama Pamela Rogers-Aguiniga telah mendokumentasikan secara mendetail berbagai dinamika dari tari Topeng Cirebon gaya Slangit melalui bimbingan Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit).

Musik pengiring yang digunakan dalam tari Topeng Cirebon gaya Slangit merupakan musik-musik khas gamelan Cirebon, berikut urutannya;[19]

Pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Slangit terdiri dari lima babak yaitu ;

Ki dalang Sudjana Arja menafsirkan pagelaran topeng Cirebon gaya Slangit kedalam tiga fase yaitu pertumbuhan jasmani manusia (dari mulai bayi hingga dewasa, suasana kebatinan manusia di mana manusia mempergunakan fungsi indranya dalam komunitas sosialnya dan makna keagamaan yang ditunjukan secara simbolis mengenai sifat dan perilaku manusia.[6]

Gerakan tari yang menjadi ciri khas dari gaya Slangit adalah gerakan bahu dan pinggang yang kuat serta gesit dan mendetail dalam setiap perpindahan geraknya, dikarenakan urutan gerakannyayang sangat mendetail maka gaya Slangit dijadikan sebuah acuan dalam pengajaran tari Topeng Cirebon dalam lingkup akademis.

Dalang tari pada gaya Slangit yang terkenal di masyarakat hampir seluruhnya merupakan keturunan dari keluarga Arja, salah satu yang masih aktif melestarikan dan juga sebagai pengajar formal adalah Keni Arja (saudara almarhum Ki Sujana Arja), perjuangan keluarga Arja pada masa lalu dalam mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari bukanlah sebuah hal yang mudah, setelah kematian enam saudaranya hanya tinggal Ki Sujana Arja dan Keni Arja yang berjuang mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari, karena dari sembilan orang anak keturunan Ki Dalang Arja hanya delapan orang yang kemudian menjadi seniman tari Topeng Cirebon, baik sebagai nayaga (penabuh gamelan) atau sebagai dalang topeng, di antara sembilan orang anak Ki Dalang Arja hanya Durman yang tidak menjadi seorang seniman Topeng Cirebonan.

Perjuangan almarhum Ki Sujana Arja dan adiknya Keni dalam upaya melestarikan gaya Slangit dimulai dari Bebarangan yakni mengamen topeng dari kampung ke kampung dan memenuhi panggilan pentas, ditengah terjepit dalam sulitnya mempertahankan tari Topeng Cirebon gaya Slangit yang sepi dari panggilan pentas, kelompok tari Topeng Cirebon juga pada masa itu (sekitar tahun 1960-an) dihadapkan dengan tuduhan bahwa mereka terkait dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S) sehingga menyebabkan ada beberapa kelompok tari Topeng Cirebon yang memilih untuk membubarkan diri karena takut dikait-kaitkan dengan gerakan tersebut, tetapi karena berniat untuk melestarikan gaya Slangit maka Ki Sujana Arja beserta saudaranya Keni Arja tetap melakukan pagelaran untuk membuktikan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Slangit mampu bertahan dalam segala perubahan.[20]

Setelah meninggalnya Ki Dalang Sujana Arja, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Slangit diteruskan oleh kedua puteranya, yaitu Inu Kertapati dan Astori, serta dalang-dalang topeng Cirebon gaya Slangit lainnya seperti Miah, Maskeni, Karmina, Wiyono (putera dari Keni Arja), Nunung Nurasih, Oliah, Iin, dan Turini.

Tari Topeng Cirebon gaya Sinar Rancang merupakan salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang masih dipentaskan di wilayah timur kabupaten Cirebon, penyebaran gaya Sinar Rancang terbatas disekitar desa Sinar Rancang, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon

'Tari Topeng Cirebon gaya Tambi adalah tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di desa Tambi,kecamatan Sliyeg, kabupaten Indramayu, tari Topeng Cirebon gaya Tambi dan lainnya yang berada di wilayah kabupaten Indramayu secara umum memiliki kesamaan dengan tari Topeng Cirebon yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka serta kabupaten Subang yakni dengan adanya lima babak tarian, perbedaannya hanyalah terdapatnya sub-babak Klana Udeng yang merupakan kepanjangan dari babak Klana.

Pakaian penari (bahasa Cirebon: dalang topeng) pada gaya Tambi hampir mirip dengan gaya-gaya tari Topeng Cirebon lainnya, perbedaannya adalah pada pakaian ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat mementaskan Klana Udeng, dalang topeng tidak mengenakan penutup kepala (bahasa Cirebon: sobra) melainkan hanya mengenakan ikat kepala dari kain (bahasa Cirebon: udeng)[21]

Musik pengiring pada gaya Tambi hampir serupa dengan gaya Slangit, perbedaannya adalah pada babak Klana selain diiringi oleh lagu Gonjring juga diiringi oleh lagu Sarung Ilang kemudian pada sub-babak Klana Udeng lagu pengiringnya adalah lag-lagu khas dari Indramayu atau dikenal dengan lagu dermayonan

Gerakan tari yang khas pada gaya Tambi adalah ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat itu tarian dipentaskan dengan mempertunjukan keahlian atraksi Dalang Topengnya, seperti atraksi menari di atas tambang sambil mengambil koin.

Babak tarian yang ada pada gaya Tambi sama dengan gaya-gaya yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka dan kabupaten Subang, yakni Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana. Perbedaannya adalah dengan adanya sub-babak Klana Udeng yakni kepanjangan dari babak Klana.

Dalang Topeng yang terkenal dari gaya Tambi salah satunya adalah Nyai Wangi Indria, anak dari Ki Dalang Taham (dalang wayang Kulit Cirebon dan cucu dari Ki Wisad (seniman tradisional).

Pada era sebelum tahun 70-an, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) terdapat juga topeng-topeng lainnya yang menjadi pelengkap babak dalam pagelaran tari Topeng Cirebon, mereka adalah

Pada era sekitar tahun 60-70-an topeng-topeng pelengkap seperti Sentingpraya masih dipentaskan pada pagelaran dinaan (bahasa Indonesia: pagelaran siang) tari Topeng Cirebon, pada periode tersebut menurut Ki Waryo, babak tumenggung Mangangdiraja melawan Jinggananom akan diteruskan adegannya dengan mementaskan adegan Aki-aki perangan di mana tokohnya adalah Sentingpraya, ayah dari Jinggananom, dikarenakan Sentingpraya diwujudkan sebagai seorang tokoh berdarah Tionghoa, maka pada pagelaran tari Topeng Cirebon Sentingpraya disebut juga dengan nama Babah Sentingpraya.

Pada tari Topeng Cirebon, yang dimaksud proses pewarisan keahlian adalah mewariskan kemampuan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda, proses pewarisan atau pengalihan pengetahuan ini erat hubungannya dengan praktik adat istiadat dalam konteks sebuah desa dan sesuai dengan lingkungan, adat, serta kepercayaan setempat.[22] Secara garis besar proses pewarisan keahlian dalam tari Topeng Cirebon dibagi kedalam dua metode, yakni proses pewarisan secara tradisional dan proses pewarisan secara modern.

Proses pewarisan secara tradisional biasanya dilakukan dengan cara penyampaian lisan, sang murid dalam proses tradisional ini biasanya selalu mengikuti pagelaran tari topeng yang dilakukan oleh gurunya, sehingga ia dituntut untuk mendengarkan dan melihat apa yang dilakukan gurunya diatas panggung pagelaran, pada proses ini, murid belajar dengan cara mendengarkan, melihat dan kemudian mengembangkan sendiri pola-pola gerakan tari Topengnya miliknya, dikarenakan pada proses tradisional ini murid belajar langsunhg dari gurunya dipanggung, maka dalam istilah adat Cirebon proses pembelajaran model seperti ini dikenal dengan istilahguru panggung[23]

Proses pewarisan keahlian dalang Tari Topeng Cirebon kepada murid atau keturunannya tidak selalu mengajarkan gerak tarian yang sama percis, menurut Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit) pengajaran gerakan tarian Topeng ada yang sengaja dibedakan gerakannya dari guru kepada muridnya, hal ini terbukti dari adanya gaya Celeng dan gaya Cipunegara yang berasal dari keluarga yang sama yaitu Ki Kartam (maestro tari Topeng Cirebon gaya Celeng) dan Ki Panggah (maestro tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara) yang merupakan kakak–adik.

Gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, merupakan ciri khas lain dari tari topeng.

Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya.

Salah satu maestro tari topeng adalah Mimi Rasinah, yang aktif menari dan mengajarkan kesenian Tari Topeng di sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang terletak di desa Pekandangan, Indramayu, Indramayu.[24] Sejak tahun 2006 Mimi Rasinah menderita lumpuh, tetapi ia masih tetap bersemangat untuk berpentas, menari dan mengajarkan tari topeng hingga akhir hayatnya, Mimi Rasinah wafat pada bulan Agustus 2010 pada usia 80 tahun.[24]

Liputan6.com, Cirebon - Barongsai, salah satu warisan seni budaya yang datang dari Negeri Tiongkok, menggeliat di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Cirebon. Tidak sedikit warga non-Tionghoa di Cirebon turut serta mengembangkan kesenian warga Tionghoa itu.Setiap perguruan atau kelompok barongsai yang ada di Cirebon memiliki teknik yang berbeda untuk dapat menguasai permainan barongsai yang atraktif ini. Perguruan Seni Beladiri (PSB) Kelabang misalnya.  PSB yang berdiri pada 25 Juli 1976 ini mengharuskan pemain barongsai untuk menguasai seni bela diri kungfu. "Gerakan kungfu menjadi wajib bagi kami untuk bermain barongsai. Karena dari kungfu juga melatih kelenturan tubuh pemain barongsai utamanya setiap melakukan aksi-aksi ekstrem," kata pelatih PSB Kelabang, Shandy Berlian Shianto, Sabtu (6/2/2016).Atraksi ekstrem dari PSB Kelabang menjadi ciri khasnya sejak dulu. Seperti meloncat, salto dari ketinggian mencapai dua meter atau lebih. "Latihan butuh satu tahun untuk bisa salto dan beratraksi ekstrim dengan tingkat keselamatan yang tinggi," kata Shandy.Dalam permainan barongsai, dia menjelaskan, teknik kuda-kuda menjadi tumpuan paling utama. Selanjutnya setiap pasangan pemain barongsai harus sehati dan saling bekerjasama dengan baik.

Barongsai Kelabang ini sudah memasuki generasi keempat. Barongsai Kelabang dikembangkan oleh Kusnaedi Sianto (Sie Koen Kie). "Saat itu, sebelum reformasi para seniman dan pemain barongsai tidak boleh di publikasikan alias untuk kalangan Tionghoa sendiri. Bahkan, semua perguruan dan kelompok seni barongsai yang ingin tampil hanya dapat disaksikan oleh kalangan sendiri  di Klenteng Talang Cirebon," tutur Shandy. Memasuki tahun 1970-1990, generasi dua Kelabang dikembangkan anak kedua sang pendiri yakni Oscar Sianto (Sie Jien Gie). Setelah Oscar, PSB Kelabang dilanjutkan oleh Bernard Sianto (Sie Jien Chun) pada 1990-2007. Hingga saat ini, Kelabang dikembangkan oleh Shandy Berlian Shianto. "Kami masuk generasi keempatnya," kata Shandy.Nama Kelabang merupakan kepanjangan dari Kesadaran, Latihan, dan Membangun. Saat itu, seni Barongsai lebih diprioritaskan untuk kegiatan prosesi adat dan permainan di satu tempat. Pola Permainan barongsai saat itu masih terbilang tradisional, menonjolkan seni akrobatik dan ketangkasan di kalangan tionghoa. "Sekarang sudah bergeser dan siapa saja bisa mainkan barongsai dan sudah banyak berubah," sebutnya.Seiring perkembangan zaman, Barongsai Kelabang menjadi salah satu warisan seni budaya Cirebon. Prestasi hingga implementasi seni budaya barongsai dan budaya Cirebon pun dikembangkannya. Barongsai Kelabang menyabet Juara III mewakili Jawa Barat Jabar Event kejuaraan Barongsai di Yogyakarta. Barongsai Kelabang juga pernah mewakili Jawa Barat dalam acara Intregated Investment Promotion 2011 di Busan Korea Selatan. "Di Korea Selatan kami menampilkan barongsai  kreasi perpaduan antar barongsai dan tari topeng jadi Topeng Barong," sebutnya.Selain itu, pada September tahun 2011 , Barongsai Kelabang juga mewakili Jawa Barat pada Festival Indonesia di Melbourne Australia. "Tahun 2015, kami juara 1 dan 2 pada kejuaraan Bupati Cup Kabupaten Cirebon," tuturnya.

Topeng Cirebon adalah topeng yang berkembang di Cirebon dengan dibuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari, menurut keterangan dari Ki Kandeg (ahli pembuat topeng Cirebon) pada masa lalu kayu yang biasa digunakan adalah kayu Jaran, kayu Waru, kayu Mangga dan kayu Lame. Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian-kesenian yang berhubungan dengan kedok (bahasa Indonesia: topeng) diantaranya adalah kesenian tari Topeng Cirebon. Topeng Cirebon dibuat oleh seorang ahli kedok yang cukup mumpuni, biasanya keahlian para ahli kedok berkembang seiring dengan perkembangan kesenian-kesenian yang berhubungan dengan kedok tersebut di mana keahliannya diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.[1] Salah satu yang terkenal diantaranya adalah Ki Waryo putera dari maestro kesenian Cirebon Ki Empek.

Topeng dalam filosofi kebudayaan Cirebon tidak hanya dipandang sebagai kedok (bahasa Indonesia: topeng) dalam artian penutup wajah, namun dipandang sebagai hiasan yang dipasang menempel pada bagian depan serban (bahasa Indonesia: penutup kepala), hal tersebut terbukti dengan adanya ungkapan di masyarakat Cirebon yang berbunyi ketop-ketop gopeng (bahasa Indonesia: hiasan pada bagian depan serban) yang dibenarkan oleh mimi Wangi Indriya (maestro tari Topeng Cirebon gaya Tambi)[2]

Pada masa awal munculnya kesenian topeng Cirebon terutama pada masa kesultanan Cirebon kesenian yang berkaitan dengan topeng atau kedok adalah kesenian yang bernafaskan Islam karena digunakan sebagai sarana dakwah.

Pada masa kekuasaan Sunan Gunung Jati di kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati bekerjasama dengan Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng klono sewandono sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan keraton, Sunan Kali jaga dirasa telah mampu memikat warga pribumi untuk masuk islam melalui jalur budaya.[1]

Pada masa yang sama, Sunan Kalijaga yang merupakan keturunan bangsawan Ponorogo turut juga membantu penyebaran dakwah Islam dengan menggunakan kesenian topeng klono sewandono di Cirebon dalam garapan cirebonan, menurut budayawan Cirebon Toto Suanda, Sunan Kalijaga mengajarkan kepada murid-muridnya yaitu Pangeran Bagusan, Ki buyut Trusmi dari desa Trusmi, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon dan Pangeran Losari tentang kesenian topeng Cirebon, dari merekalah kemudian kesenian topeng Cirebon menyebar ke wilayah Indramayu, Majalengka, Subang dan wilayah-wilayah lainnya yang kemudian berkembang menjadi pelengkap penampilan dari gaya-gaya Tari Topeng Cirebon.

Langkah-langkah pembuatan topeng Cirebon adalah sebagai berikut:

Semua jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan Tari Topeng Cirebonan yang diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok ada lima yang disebut juga Topeng Panca Wanda:

Menurut Hasan Nawi, salah seorang pengrajin topeng Cirebon dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia seperti mengenakan topeng, misalnya saja pada saat marah seperti sudah mengganti topeng berwajah ceria dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa yang sikapnya kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya dengan topeng anak-anak.

Selain lima topeng yang ada biasa ditampilkan, menurut Ki Waryo (maestro Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan.

Proses Awal pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran

Proses pertengahan pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran

Hasil akhir pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran

Pewarisan keahlian pembuatan topeng Cirebon biasanya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang sudah berjalan selama ratusan tahun dan ada pula proses pewarisan keahlian yang dilakukan dengan cara pembelajaran dari guru ke muridnya.

Ki Sujana Priya salah satu dari beberapa tukang kedok (bahasa Indonesia: ahli pembuat topeng) di Cirebon, keterampilan membuat kedok dia pelajari dari Ki Kandeg sekaligus sebagai pelaku Wayang Wong gaya Cirebon.

Ki Waryo, putera dari Ki Empek (maestro kesenian Cirebon). Ki Waryo mewarisi bakat keluarganya sebagai seniman multi kesenian di Cirebon, salah satu keahlian Ki Waryo adalah membuat kedok Cirebon.

Tari Topeng Cirebon merupakan salah satu seni tari yang termasyhur di Jawa Barat. Tarian ini merupakan gambaran budaya yang menjelaskan sisi lain dari setiap diri manusia. Hingga saat ini, Tari Topeng Cirebon sering ditampilkan di acara-acara besar, seperti acara pernikahan.

Tak banyak yang tahu tentang sejarah panjang Tari Topeng Cirebon yang menarik untuk disimak. Ulasan ini akan menambah wawasan Anda tentang sejarah dan jenis-jenis Tari Topeng Cirebon yang memukau.

Sejarah Tari Topeng Cirebon

Tari Topeng Cirebon adalah kesenian yang populer di kawasan Parahyangan, tepatnya di daerah Ciamis. Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cianjur, dan Bandung. Selain daerah-daerah tersebut, biasanya Topeng Cirebon juga dipentaskan di daerah Indramayu, Jatibarang, Subang, Losari, dan Brebes. Konon, tarian sejenis sudah berkembang di Jawa Timur pada rentang abad 10 hingga 16 Masehi. Pada masa Kerajaan Jenggala di bawah pemerintahan Prabu Amiluhur atau Prabu Panji Dewa, kesenian tersebut mulai masuk ke Cirebon melalui perantaraan seniman jalanan.

Sejarah tari topeng di Cirebon juga berhubungan dengan penyebaran agama Islam. Kota Cirebon merupakan pintu masuk penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam dan tari topeng di Cirebon. Pada tahun 1470-an, Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga dalam upaya penyebaran Islam di Pulau Jawa. Kala itu, kedua Sunan tersebut memfungsikan Tari Topeng sebagai media penyebaran Islam sekaligus tontonan di lingkungan Kesultanan Cirebon. Selain Tari Topeng, ada beberapa jenis kesenian lain yang juga digunakan untuk mendukung penyebaran agama Islam, yaitu Angklung, Reog, Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, dan Berokan.

Ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Kesultanan Cirebon pada tahun 1479, kesultanan tersebut diserang oleh Pangeran Welang dari Karawang. Sang Pangeran sangat sakti dan memiliki sebilah pedang bernama Curug Sewu. Sunan Gunung Jati tak mampu mengalahkan Pangeran Welang walaupun sudah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya, Sunan Gunung Jati menempuh jalan diplomasi kesenian untuk menghadapi Pangeran Welang.

Keputusan diplomasi tersebut adalah awal terbentuknya kelompok tari Nyi Mas Gandasari. Tarian yang dibawakan kelompok Nyi Mas Gandasari membuat Pangeran Welang jatuh cinta bahkan rela menyerahkan Curug Sewu. Penyerahan senjata tersebut membuat kesaktian Pangeran Welang hilang. Sang pangeran pun memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Sunan Gunung Jati ditandai dengan pergantian nama, yaitu Pangeran Graksan. Seiring dengan berjalannya waktu, Tari Topeng Cirebon berkembang menjadi kesenian populer yang disajikan dengan ketentuan spesifik.

Filosofi di Balik Tari Topeng Cirebon

Meskipun awalnya hanya dipentaskan di lingkungan kesultanan, perlahan-lahan Tari Topeng Cirebon berkembang sebagai bagian dari rumpun tarian rakyat. Karena awalnya bertujuan mendukung penyebaran agama, Tari Topeng Cirebon mengandung banyak makna tentang ketaatan beragama dan tingkatan manusia sebagai berikut:

Makrifat: tingkat tertinggi kehidupan manusia yang perilakunya sudah sesuai dengan syariat agama.

Hakikat: gambaran manusia berilmu yang memahami hak seorang hamba dan hak Sang Pencipta.

Tarekat: gambaran manusia yang menjalankan agama dalam perilaku hidupnya sehari-hari.

Syariat: gambaran manusia yang baru mulai mengenal ajaran Islam.

Filosofi Tari Topeng Cirebon menggambarkan aspek kehidupan yang sangat luas, mencakup kepribadian, cinta, angkara murka, kepemimpinan, serta perjalanan hidup manusia dari lahir hingga dewasa.

Struktur Penyajian Tari Topeng Cirebon

Dahulu, Tari Topeng Cirebon dipentaskan di tempat terbuka berbentuk setengah lingkaran, seperti halaman rumah, panggung (bale), atau tenda (blandongan) dengan menggunakan obor sebagai sumber penerangan. Di zaman modern, tarian ini biasanya disajikan di gedung dengan tata cahaya berupa lampu listrik. Struktur pertunjukan Tari Topeng Cirebon dibagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Topeng Alit (Topeng Kecil)

Kategori struktur tari topeng yang satu ini terbilang sederhana dari segi jumlah penari, dalang, peralatan, kru, dan konsep penyajiannya. Topeng alit biasanya dipentaskan oleh lima hingga tujuh orang penari. Penyajiannya bersifat multi peran, sehingga wiyaga (penabuh gamelan) dan dalang turut mendukung alur cerita.

2. Topeng Gede (Topeng Besar)

Topeng Gede dapat digambarkan sebagai penyempurnaan struktur topeng alit. Biasanya kategori struktur ini memuat lima babak yang dilengkapi lakonan dan jantuk (nasihat) di akhir pertunjukan. Musik pengiringnya juga terdiri dari formasi lengkap yang membuat pertunjukan semakin sempurna.

�–� Tiga Tujuan Penyelenggaraan Tari Topeng Cirebon

1. Pergelaran Komunal

Pergelaran ini dihelat untuk tujuan bersama sehingga masyarakat dapat berpartisipasi agar acaranya berlangsung lebih meriah. Pergelaran komunal biasanya diselenggarakan lebih dari satu malam dilengkapi acara arak-arakan dalang dan atraksi seni lainnya.

2. Pergelaran Individual

Sesuai dengan namanya, tujuan pergelaran ini adalah memeriahkan hajatan perorangan seperti pernikahan, khitanan, dan jenis acara individual lainnya.

3. Pergelaran Bebarongan

Pergelaran bebarangan adalah atraksi tari topeng keliling kampung yang inisiatifnya berasal dari sang dalang. Ketika desa asal sang dalang sedang gagal panen atau penduduknya semakin sepi, dalang tersebut akan mengadakan pertunjukan Tari Topeng di daerah yang sudah panen atau daerah lainnya yang lebih ramai (kota).

4. Properti Topeng untuk Tari Topeng Cirebon

Salah satu ciri khas Tari Topeng Cirebon adalah penggunaan properti berupa topeng kayu. Topeng tersebut terbuat dari jenis kayu lunak, misalnya kayu jaran. Bagian mulut topeng kayu dilengkapi sebilah kayu yang melintang supaya dapat digigit sang penari ketika sedang digunakan. Proses pembuatan topeng membutuhkan waktu cukup lama karena harus dikerjakan secara teliti. Bahkan, seorang seniman topeng yang sudah mahir biasanya membutuhkan waktu satu hari untuk membuat satu topeng. Setiap warna dan mimik topeng menggambarkan sifat-sifat manusia yang berbeda-beda.

Mengenal Lima Jenis Tari Topeng Cirebon

Lima jenis Tari Topeng Cirebon menggambarkan filosofi yang berbeda-beda. Karakteristik dan makna masing-masing tari topeng tersebut adalah sebagai berikut:

Tari topeng yang satu ini menggambarkan kesucian bayi yang baru lahir. Motif topengnya polos dan berwarna putih bersih, hanya terdiri dari mata, hidung, dan mulut tanpa guratan apa pun. Sama seperti warna topengnya, kostum penari dan atribut lainnya juga bernuansa serba putih. Gerakan Tari Topeng Panji sangat sederhana, hanya berupa adeg-adeg (berdiri kokoh agar tak tergoyahkan) yang diiringi musik penuh dinamika.

Meskipun gerakannya monoton dan pelan, makna yang terkandung ternyata sangat dalam. Makna gerakan tersebut menggambarkan manusia suci yang tidak mudah terpengaruh hiruk-pikuk dunia yang menyebabkan perilaku negatif. Tari Topeng Panji biasanya dipentaskan dengan iringan lagu Kembang Sungsang.

Fase perkembangan biologis manusia memasuki masa kanak-kanak digambarkan melalui pertunjukan Tari Topeng Samba. Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik topeng bernuansa putih dan merah jambu yang dilengkapi hiasan di bagian atas yang menyerupai rambut serta kostum tari berwarna hijau daun. Gerakan dalam tari topeng ini terkesan lucu, centil, kekanak-kanakan dan menggambarkan keceriaan khas anak-anak. Lagu yang sering digunakan untuk mengiringi Tari Topeng Samba adalah Kembang Kapas.

3. Tari Topeng Rumyang

Topeng Rumyang menginterpretasikan fase remaja dalam kehidupan manusia. Warna dasar topengnya adalah merah muda. Gerakan-gerakan dalam Tari Topeng Rumyang terkesan tegas. Namun, sisi labilnya ditunjukkan dalam bentuk pengulangan beberapa gerakan. Rumyang adalah judul lagu yang digunakan untuk mengiringi tari topeng yang satu ini.

4. Tari Topeng Tumenggung

Di antara lima babak Tari Topeng Cirebon, hanya Tari Topeng Tumenggung yang menggunakan properti berupa topi. Dalam hierarki kerajaan, Tumenggung atau patih atau panglima perang. Tumenggung merupakan gambaran manusia yang sudah menemukan jati diri, bersikap dewasa, dan mapan. Irama geraknya juga terkesan tenang dan mantap. Bentuk Topeng Tumenggung dilengkapi kumis dan guratan-guratan wajah yang terkesan bijaksana.

Sementara itu, kostum penari berwarna hitam karena warna tersebut dianggap sesuai jika dipadukan dengan warna apa pun. Persis seperti makna sikap dewasa yang membuat manusia mampu beradaptasi dalam situasi apa pun. Pementasan Tari Topeng Tumenggung biasanya dilengkapi iringan lagu bertajuk Tumenggung.

5. Tari Topeng Kelana

Tari Topeng Kelana mendeskripsikan fase terakhir kehidupan manusia. Topeng Kelana didominasi warna merah dengan kumis tebal serta tatapan mata yang tajam. Sebagian orang mengartikan makna topeng ini sebagai simbol angkara murka dan kerakusan manusia. Namun, ada pula yang menginterpretasikan arti yang berbeda sebagai bentuk aktualisasi diri yang sempurna. Gerakan-gerakan tari topeng ini ekspresif dan menunjukkan karakter manusia yang mampu mengendalikan amarah. Pementasan Tari Topeng Kelana disempurnakan dengan iringan lagu berjudul Gonjing.

Prestasi Tari Topeng Cirebon di Tingkat Nasional

Pada Mei 2019 lalu, pertunjukan Tari Topeng Cirebon ternyata berhasil memecahkan rekor Original Record Indonesia (ORI) untuk kategori penari terbanyak se-Indonesia dengan kostum Topeng Samba lengkap. Dalam kesempatan tersebut, pementasan Tari Topeng Samba dan Jaran Larad di halaman Keraton Kacirebonan turut memeriahkan perayaan ulang tahun Sanggar Seni Sekar Pandan ke-27. Pertunjukan tari tersebut melibatkan 270 orang penari anak dan remaja.

Elang Heri Komalahadi selaku pimpinan Sanggar Tari Sekar Pandan sekaligus kreator tari, menjelaskan bahwa Topeng Samba menggambarkan upaya pencarian ilmu tanpa henti. Sehingga pertunjukan yang berhasil memecahkan rekor tersebut juga menggambarkan semangat menggali ilmu seni tari tradisional Cirebon. Sultan Keraton Kacirebonan, Sultan Abdul Gani Natadiningrat, menyatakan bahwa pergelaran tari spektakuler tersebut merupakan bukti eksistensi kesenian asli Cirebon. Sang pemimpin Keraton Cirebon juga berharap pertunjukan tersebut menjadi momentum yang membuat banyak generasi muda tertarik mempelajari kesenian khas Cirebon.

Upaya pelestarian Tari Topeng Cirebon juga sudah dilakukan Pertamina sejak tahun 2018. Program Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina yang bernama Pertamina Budaya bekerja sama dengan Keraton Kacirebonan dan Yayasan Belantara Budaya Indonesia. Acara tersebut sukses menghimpun lebih dari 260 siswa tari yang mendaftarkan diri sejak hari pertama. Kala itu, kelas tari tradisional Cirebon yang digagas Pertamina Budaya bisa diikuti oleh siswa tari berusia 3 tahun hingga 40 tahun. Antusiasme tersebut tentu patut dipertahankan demi kelestarian kesenian tradisional.

Usai menyimak informasi lengkap seputar Tari Topeng Cirebon, Anda tentu makin tertarik menyaksikannya secara langsung. Jika punya waktu senggang, tak ada salahnya mewujudkan rencana liburan ke Cirebon sambil mencari jadwal pementasan Tari Topeng yang sesuai dengan waktu liburan Anda. Jangan ngaku pernah berlibur ke Cirebon kalau belum pernah menyaksikan Tari Topeng Cirebon secara langsung.

Sebagai daerah yang kaya akan sejarah dan budaya. Cirebon memiliki ciri khasnya tersendiri salah satunya seni tari topeng Cirebon. Topeng khas Cirebon memiliki 5 karakter topeng berbeda yaitu topeng Panji, topeng Samba, topeng Rumyang, topeng Tumenggung dan topeng Kelana.

Elang Iyan Ariffudin Kepala Unit Cagar Budaya Keraton Kacirebonan sekaligus Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia Kota Cirebon menjelaskan lima topeng Cirebon memiliki lima makna yang berbeda. Pertama topeng Panji yang merupakan sinonim mapan ingkang siji yang berarti kita harus yakin kepada Allah SWT satu-satunya yang berhak disembah.

Topeng Panji juga dapat bermakna fase seseorang yang baru saja terlahir di dunia dalam kondisi suci. Topeng panji biasanya dimainkan dengan gerakan tari yang halus dan juga lembut. Kedua topeng Samba yang menggambarkan fase anak-anak dalam kehidupan manusia. Samba juga bisa diartikan dengan silaturahmi antarsesama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketiga topeng Rumyang sinonim dari harumiyang, bermakna seseorang mulai masuk usia remaja yang sedang merantau. "Apabila sedang merantau hendaklah memberikan sesuatu yang harum," kata Iyan beberapa waktu lalu.

Keempat adalah Tumenggung yang merupakan sebutan untuk orang tertinggi di kerajaan setelah raja yang memiliki karakter tegas, berani, dewasa dan bertanggung jawab. Gerakan tari topeng tumenggung menunjukkan gerakan yang tegas, penuh kematangan dan kesetiaan.

Terakhir topeng Kelana atau Rahwana yang menjadi puncak dari klimaks dalam kehidupan manusia. Dilihat sekilas topeng kelana terlihat seperti topeng yang memiliki karakter keras dan pemarah namun meskipun begitu topeng Kelana memberikan makna untuk mencapai sesuatu harus dengan cara yang baik.

"Kelima topeng merupakan perwujudan dari perjalanan hidup manusia dari panji bayi, samba balita, rumyang remaja, tumenggung dewasa dan kelananya itu kilmaks. Jadi tidak serta merta leluhur membuat kesenian tanpa ada maksud dan tujuan," tutur Iyan.

Iyan juga menceritakan asal usul tari topeng yang muncul ketika Kerajaan Cirebon berkonflik dengan Kerajaan Galuh. Sunan Gunung Jati memerintahkan Nyi Mas Gandasari untuk menjadi telik sandi dan menyusup ke dalam Kerajaan Galuh dengan menjadi penari. Melihat kecantikan dari Nyi Mas Gandasari yang menari memakai topeng. Prabu Cakraningrat yang menjadi raja kerajaan Galuh terpesona bahkan jatuh cinta.

Terpesonanya Prabu Cakraningrat dimanfaatkan oleh Nyi Mas Gandasari untuk mencari tahu kelemahan dari Prabu Cakraningrat. Saat menari bersama tanpa sadar Prabu Cakraningrat membeberkan rahasia kesaktianya kepada Nyi Mas Gandasari. Ia mengatakan bahwa kunci kesaktianya ada di tusuk konde.

Mengetahui kesaktian Cakraningrat ada di tusuk konde. Nyi Mas Gandasari langsung mengambil tusuk konde yang ada pada Cakraningrat dan memasukkannya pada bagian tubuh Cakraningrat. Mendadak Cakraningrat kesakitan dan mati saat itu juga. Sejak saat itu seni tari topeng mulai sering dipentaskan di wilayah kerajaan Cirebon.

Hingga hari ini masih banyak sanggar seni yang melestarikan tradisi tari topeng di Cirebon seperti di sanggar seni di Keraton Kacirebonan. Menurut Iyan cukup membayar 50.000 rupiah dalam satu bulan, sudah bisa ikut belajar seni tari di Keraton Kacirebonan.

%PDF-1.4 %âãÏÓ 223 0 obj <> endobj xref 223 43 0000000016 00000 n 0000001912 00000 n 0000002077 00000 n 0000002594 00000 n 0000002803 00000 n 0000003280 00000 n 0000003779 00000 n 0000003893 00000 n 0000004005 00000 n 0000004312 00000 n 0000004649 00000 n 0000004918 00000 n 0000005510 00000 n 0000005785 00000 n 0000006329 00000 n 0000007061 00000 n 0000007690 00000 n 0000008355 00000 n 0000009021 00000 n 0000009487 00000 n 0000009943 00000 n 0000010105 00000 n 0000010388 00000 n 0000010875 00000 n 0000011153 00000 n 0000011665 00000 n 0000012376 00000 n 0000013139 00000 n 0000013822 00000 n 0000014284 00000 n 0000014914 00000 n 0000016098 00000 n 0000058782 00000 n 0000091878 00000 n 0000096706 00000 n 0000097076 00000 n 0000122897 00000 n 0000123311 00000 n 0000123708 00000 n 0000152442 00000 n 0000153414 00000 n 0000001734 00000 n 0000001179 00000 n trailer <<02147E7B0CE26C498BA3F8405E2868DE>]/Prev 801873/XRefStm 1734>> startxref 0 %%EOF 265 0 obj <>stream hÞb```b``ýÄÀÆÀÀÏÊ Ì€ Â@1vŽ)l!'pº0&lzúòvP²ÐüÃÊ\ Ñ™�IÁÃÐé †EÉÇ/\Á-\‚LŽ“5\6xO30)x%|ü‚’ÛÊhÑ×N¬|� ×b| áÚ’òðr„�ˆŠ]£W‰zØœœ½�¯ç„ªûyºÔç«�‚…‘*C›šÃÆ° R)¯x,Úf;YÝ=y¤þ抷/¿hL\À!bP ÄҬб0aŠŒUÈö°›X\\\*:€ Äqq2 âJJJ`aˆ�çâ ‚‹�±±±Y:ª ³1H]ZØ �"·æL ­Ä®`IÆ7;�0Þbˆdg”b´`øÂdÎð‹‰�é0SSS#ãNÆõ�ŒLŒçþ2>gZÇôˆiãV¦X–öe‹õ…3F¦ale,)PeÞœÆÁØÀx›qƒƒ£(CÃÆž¤ÉŒe@†FM 8?c#¯3#«Åog† †z Y¤‘€#�A"8 %ìxä¿Bø9@š“�mQ…fMØâ°_x¬ç iF Þ ` ‚Ý’  endstream endobj 264 0 obj <>/Filter/FlateDecode/Index[70 153]/Length 27/Size 223/Type/XRef/W[1 1 1]>>stream hÞbb²g`b``Ń3În~0 A³© endstream endobj 224 0 obj <>/Metadata 68 0 R/PageLabels 65 0 R/Pages 67 0 R/StructTreeRoot 70 0 R/Type/Catalog/ViewerPreferences<>>> endobj 225 0 obj <>/ExtGState<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC]/XObject<>>>/Rotate 0/StructParents 2/TrimBox[0.0 0.0 595.276 841.89]/Type/Page>> endobj 226 0 obj <> endobj 227 0 obj <> endobj 228 0 obj <> endobj 229 0 obj <> endobj 230 0 obj <> endobj 231 0 obj <> endobj 232 0 obj <>stream H‰\�ÍjÃ0Çï~ ÛCqšõ#…ƒöÁ²=€c+™a±�ãòö“íÒÁ¶~BúÛ’øµ}j�Àß½•´Qg»x‰Ð㨠ۗ ´·(ÝrŽqwëpjÍ`Y]ÿ äü ›Ge{Ü2þæzmFØ|]»-ðnqî'4 hP8ÐC/½Š �'Ù®U”×aÝ‘æ¯âsueŠ÷¹iÎNHôÂŒÈꂬ�ú™¬ahÔ¿|•Uý ¿…gõCIµEAŽø�ùù˜ùù”ùùœù¹Ê\E¾d¾4±ƒ²H¹ØÁí¯Ø­îƒÊÅ{š1í5 ÇÒï«wÖ©âa¿ ù–Å endstream endobj 233 0 obj <> endobj 234 0 obj <>stream H‰\”ÍjÛ@…÷zŠY&‹ Ûsï�„Á±ð¢?ÔíÈÒØÔ’Ë¿}çè„*°õ‰ÑÌù8pUn÷»}ßM®üž†æ'wêú6ÅëpKMtÇxîúb¹rm×LOós©Ç¢Ì›÷ë/ûþ4UåÊyñ:¥»{Ø´Ã1>å·ÔÆÔõg÷ðk{xtåá6Žâ%ö“[¸õÚµñ”úR�_ëKtå¼íißæõnº?å=ÿÞøy£[ÍÏKÊ4C¯cÝÄT÷çXT‹|­]õž¯uûö¿uÜv<5¿ëTT+¼¼Xä[ægò3ø…üÞ’·ày~#¿�ßÉ9´ò<ÓãL¿$/Á+ò ìÉ,d+YÁF6p 0==<===<ý†¼¿’_Átópú|„>¡�ÀGè#ðæ r…¹‚\a® W˜+Èæ r…½ zö&èMØ› 7¡›ÀMÙ›¢7¥›ÂMé¦pSº)Ü”])ºRv¥èJé¬pVz*<•n 7¥�ÂÇ؉¡c®!טkÈ5ær�¹†\c®!טkÈ5veèÊè`p0veèÊècð1veèÊèf³»2teìÊÐU`W]:8:8:8:8:8:8zxzæ†ècZ0NyêÝç¬6·”ò˜ÎŸ†y>1™]?¿ã0º¼¿â¯ jð Ý endstream endobj 235 0 obj <> endobj 236 0 obj <>stream H‰\“ÍjÛ@…÷zŠY&‹ [¾s'apì¼èuû ²4võHŒå…ß¾÷è„*°õ i>�{ДÛýnŸúÉ•ßóÐâäN}êr¼·ÜFwŒç>ËÊu};}\Íÿí¥‹Òî×)^öé4uíÊvó:å»{ØtÃ1>å·ÜÅܧ³{øµ=<ºòpÇ?ñÓän½v]<™èK3~m.Ñ•ó²§}g÷ûéþdkþ=ñó>FWÍ×K†i‡.^Ǧ�¹IçXÔ;Ö®~·c]ÄÔýwß—Oíï&u…‡;¿�_À[ò¼#ïÀoä7ãÕrf;Wä ¼"¯ÀB°'{°’Ì÷®ð^¡Sà:N¡Sà:N¡Sà:Ny&?ƒé—Ù¿!oÀ¯äW0çÌ+œW0¯p^Á¼òN¶bkÏÞ